Suatu hari saya pernah ditanya, apa itu sedih. Waktu itu saya yang sok tahu menjelaskan teori emosi dari psikologi umum.
Sore ini, hati saya sakiiiittt sekali. Ada rasa yang menggelegak dalam tekak yang memaksa ingin keluar. Dipaksa menelan ludah rasanya sakit.
Saya ingin cepat pulang.
Ingin cepat-cepat mandi.
Habis itu menangis sekencang-kencangnya.
Saya ingin bilang kepada teman saya yang dulu bertanya, ini lho sedih itu.
Perasaan yang sulit saya ungkapkan tapi menghantui seperti awan kelabu. Segelap langit sore ini.
Saya punya mimpi, tidak bisa dibilang kecil, tapi saya tidak mau menyebutnya terlalu besar.
Saya cinta dunia saya. Saya cinta anak-anak itu.
Mereka yang tidak pernah berhenti berlalri, atau bahkan mereka yang bahkan tidak bisa mengucapkan apa yang mereka inginkan.
Mereka yang lincah dengan mata yang begitu hidup, atau bahkan mereka yang tatapan matanya tak lagi punya makna.
Saya begitu menyayangi mereka.
Saya ingin melakukan sesuatu untuk mereka.
Saya ingin memberi mereka wadah untuk terus bermimpi, untuk tumbuh, untuk kelak mengepakkan sayap dan terbang tinggi.
Hingga saya bisa melambaikan tangan dan menatap langit yang dipenuhi langkah-langkah kaki mereka.
Tapi dunia memang tidak seindah yang saya bayangkan.
Ada orang-orang di luar sana yang diberkati lebih untuk bisa menyediakan wadah bagi mereka bertumbuh, tapi ternyata mengelolanya tanpa hati.
Pendidikan hanya jadi bisnis.
Tak ada cinta.
Sekolah hanya dinding bercat warna-warni, dengan segala fasilitas terbaik, dipenuhi tawa dan lari kaki-kaki mungil, tapi tidak ada hati yang mengasihi.
Malam ini saya cuma ingin memeluk diri saya sendiri.
Menangis.
Dan menggantungkan mimpi saya dalam doa.
Kalau boleh Tuhan, beri saya kesempatan mewujudkan mimpi saya.
Kalau Tuhan berkenan, jangan biarkan hati saya mati, cinta saya kering, ketulusan saya pupus. Saya mau mewujudkan mimpi itu dengan cinta.
Itu saja.
Kamis, 11 Februari 2010
Langganan:
Komentar (Atom)